KONSEKUENSI PENATAAN DEMOKRASI DI INDONESIA; JAWABAN ATAS GUGATAN UU NO.10/2016 Psl. 201 Ayat.(7)(8) DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh : 
Syahmuhar M.Z.O.Gebze, S. Soss, M.AP.
(Komisioner KPU Kabupaten Merauke)

Kabarnya gugatan (Kaltara Aktual.com: 5/01/2022) atas UU. RI. No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati Dan Walikota/Wakil Walikota, khususnya pada pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) yang berbunyi : Ayat (7) Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. Ayat (8) Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilaksanakan Pada bulan November 2024. Selanjutnya akan di digugat untuk di uji materil di Mahkamah Konstitusi RI, dan sudah masuk dalam daftar perkara No.67/PUU/XIX/2021 dan teragendakan, akan disidangkan pada Pukul 13.30 WIB, hari senin tanggal 10 Januari 2022. Yang didalam terdapat alasan alasan gugatan untuk di uji materil UU N0. 10/2016 psl 201 (7) (8), adalah : Pertama, Norma yang di uji memberikan implikasi konstitusional pada kekosongan masa jabatan secara variatif mulai dari 1 s/d 2 tahun, yang kalau di kalkulasikan hasil Pilkada 2020 masa jabatannya hanya 4 atau bahkan ada yang 3 tahunan. Kedua, Ketika di isi jabatan yang kosong karena adanya ketentuan pasal tersebut, maka secara otomatis berdasar aturan perundang undangan, Pemerintah Pusat menunjuk penjabat Gubernur untuk mengisi jabatan Gubernur sampai dengan batasan waktu yang diamanatkan UU Tersebut. Dengan demikian dinilai legitimasi politik Pejabat Gubenur tersebut tidak legitimate, karena pejabat Gubernur tersebut tidak di pilih langsung oleh rakyat, padahal dia memimpin cukup lama dengan tenggang waktu satu hingga dua tahunan. Ketiga,Tidak memiliki Ikatan emosional yang kuat dengan rakyat, dan dapat di yakinkan kualitas pelayanan publik akan menurun. Keempat, Kepastian Waktu pemilu membuat warga Negara dapat memprediksi, memiliki kepastian dan dapat mempersiapkan diri mengikuti Pilkada sehingga tidak harus menunggu waktu hingga 7 tahun lamanya. Kelima, Membuat beban dan pembiayaan penyelengaraan Pemilu berlebih. Keenam, Akan mengalami disfungsi Kekuasaan. Berdasarkan Informasi di atas, maka dapat di lihat bahwa inilah ruang demokrasi yang sangat terbuka untuk menyalurkan pemikiran pemikiran guna penyempurnaan dalam berdemokrasi di Negera Kesatuan Republik Indonesia, dengan kehadiran lembaga Mahkamah Konstitusi (MK), yang kemudian semua aturan perundang undangan dapat di ajukan untuk uji materilnya, jika di rasakan sudah tidak relevan dengan kondisi yang ada secara realistis yang terjadi saat ini maupun prediksi masa yang akan datang. Dan tidak ada salahnya juga, ketika memberikan bantahan secara publik terkait dengan gugatan untuk uji materil UU tersebut. Jika di lihat secara konteks informasi terkait gugatan untuk menguji Materil UU NO 10 Tahun 2016 khususnya Pasal 201 ayat (7) dan (8). Dengan alasan alasan yang dikemukakan beberapa poin dalam penjelasan sebelumnya oleh penggugat tersebut sebagai penulis bukan satu keyakinan bahwa perkara tersebut akan kemudian di Tolak oleh MK dalam pembahasannya karena dapat dipastikan argumentasi penggugat tersebut sangat tidak mengandung nilai objektifitas justru yang terkonfirmasikan terkait alasan alsan gugatannya untuk di uji materil sebagaimana poin poin pada penjelasan tulisan ini sebelumnya, Penulis menilai bahwa sangat subjektif alasan alasan yang dikemukakan. Kalau mau di lihat atau merefleksikan kembali tentang, “mengapa sampai di sepakati akan keserempakan dalam pelaksanaan pemilu tersebut ?...”, ada beberapa pendapat yang bisa dikemukakan dalam tulisan ini; pertama, menurut Ria Casmi Arrsa seorang peneliti Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Universitas Brawijaya dalam karya Ilmiahnya judul Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi (2014:524-525) , bahwa gagasan pelaksanaan pemilu serempak dapat dimaknai sebagai momentum untuk melakukan penataan demokrasi agar masa transisi demokrasi dapat secara stimulan bergeser pada upaya untuk menuju konsolidasi demokrasi sehingga stabilitas politik dan kemanan Negara dapat di control dengan baik, dengan demikian akan menopang kinerja pembangunan pemerintahan yang terpilih agar tidak disibukan dengan konflik politik yang terjadi. Senada juga penyampaian dari salah satu tokoh politisi PDIP, Soewarno dalam karya Ilmiahnya Ria Casmi Arrsa judul Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi (2014:531) yang intinya dimaksudkan, pemilu itu diadakan serempak akan mengefisienkan Proses dan memaksimalkan hasil kerja pemerintahan, dan menghindari resiko sosial dan politik yang mungkin tidak di inginkan. Sebagaimana diutarakan oleh Didik Supriyanto dalam karya Ilmiahnya Ria Casmi Arrsa judul Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi (2014:532-533), bahwa gagasan Pemilu serentak mampu mengatasi politik dinasti dengan dasar argumentasi Pertama, bila pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dilaksanakan bersamaan, setiap orang (termasuk petahana dan kerabatnya) memiliki peluang terbatas untuk mencalonkan diri. Mereka harus memilih salah satu jabatan yang hendak digapai: anggota legislatif atau jabatan eksekutif. Baik yang terpilih maupun yang tidak berada dalam posisi sama dalam kurun lima tahun ke depan. Bandingkan dengan situasi saat ini. Pada saat pemilu legislatif, setiap orang memburu kursi DPR, DPD, dan DPRD. Selang satu atau dua tahun kemudian, mereka yang sudah mendapat kursi parlemen maupun yang gagal bergerak ke arena eksekutif berebut kursi kepala daerah dalam pilkada. Bagi pemilik kursi parlemen yang gagal bisa kembali menduduki kursinya; sedangkan yang berhasil akan meninggalkan kursinya untuk orang lain, yang bisa jadi adalah kerabatnya. Kedua, penggabungan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif memaksa partai-partai politik membangun koalisi sejak dini. Mereka sadar, keterpilihan calon pejabat eksekutif yang mereka usung akan memengaruhi keterpilihan calon-calon anggota legislatif. Hal ini mendorong partai-partai akan membangun koalisi besar sehingga pasca pemilu menghasilkan blocking politic di satu pihak, terdapat koalisi besar yang memenangi jabatan eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen; di pihak lain terdapat koalisi gagal meraih jabatan eksekutif yang menjadi kelompok minoritas parlemen sehingga mau tidak mau menjadi oposisi. Dengan demikian melalui gagasan Pemilu serentak diharapkan menjadikan suatu upaya untuk membangun kualitas demokrasi yang terkonsolidasi sehingga secara simultan akan berdampak pada menguatnya sistem Presidensil di Indonesia. Dari pandangan, beberapa pendapat diatas, sudah sangat jelas dapat membantahkan alasan alasan gugatan untuk menguji materil terhadap UU No.10/2016 psl 201 (7)(8) yang telah didaftarkan di MK. Pertama, Dalam mengawali pemilu secara serempak tentunya ada yang di korbankan terkait pemilu yang berlangsung ditahun 2020, masa priodenya hanya 3 sampai dengan 4 tahun, inilah yang dapat dimaknai sebagai suatu teori nilai, dimana hasil pemilu 2020 tentunya harus ikhlas untuk kemudian menuju satu cita cita besar bersama seluruh rakyat Indonesia yaitu memperbaiki tatanan demokrasi bangsa Indonesia ini. Justru bagi penulis dengan senggang waktu semasa terjadinya kekosongan lalu pejabat sementara yang mengisi jabatan jabatan kepala daerah tersebut, maka disitulah konsolidasi demokrasi terbentuk untuk mengontrol baik pra penyelengaraan maupun pasca penyelengaraan pemilu serempak. Kedua, Terkait legitimasi rakyat akan kurang terhadap para pejabat sementara gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan menuju 2024 (pemilu serempak), disinilah letak ujian bangsa Indonesia untuk menuju suatu tatanan baru yang diyakini bisa membawa bangsa Indonesia lebih baik lagi, maka sosialisasi sangat perlu digalakkan untuk kecerdasan rakyat Indonesia berdemokrasi dalam bernegara, dan dapat di yakini rakyat Indonesia saat ini sudah sangat cerdas untuk berperan aktif dalam pembangunan. Dan tentunya ketakutan rakyat yang dijelaskan penggugat tersebut tentunya sangat tidak mendasar dan terkesan mengada ngada terkait dengan jika pejabat sementara gubernur yang memimpin di daerah atau bupati ataupun walikota akan berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan, dapat dipastikan tidaklah demikian, Aparatur Sipil Negara (ASN). sudah mempunyai aturan kinerja (Remunerasi) yang di nilai secara tersistem dan terstruktur didalam suatu kelembagaan pemerintahan sehingga tuntutan ASN untuk berkreasi dan berinovasi dalam pelayanan publik menjadi visi pertama dan utama, karena itu tugas pokok ASN. Ketiga, Terkait beban pembiayaan penyelenggaraan pemilu serempak kalau dikalkulasikan bisa dikatakan besar karena satu kali pengeluaran, namun jika di bandingkan dengan pemilihan tidak serempak ya sama saja sebenarnya kalau di kalkulasikan secara total dalam satu periode pemilihan, justru yang terjadi lebih merugi ketika kita laksanakan pemilu tidak serempak, ruginya dari sisi waktu dan tenaga serta dinamika politik pasca pemilihan penanganannya akan lebih ekstra karena di lakukan secara terpisah pisah pemilunya, akhirnya pembiayaan kemanan yang di fokuskan lagi setiap ada pemilihan, jadi ketika pemilihan serempak control keamanan pun akan terjamin dan terfokus karena pelaksanaan pemilu tidak terpisahkan waktu artinya serempak dalam satu waktu tertentu. Keempat, Dengan adanya pejabat sementara Kepala Daerah untuk mengisi jabatan kosong sementara waktu, menuju pemilu serempak 2024, dapat dipastikan tidak akan nada terjadi disfungsi Kekuasaan, karena tatanan pemerintahan dalam mengatur ASN dalam berkerja sudah sangat jelas batasan kewenangan, batasan kekuasaan seperti, sehingga disfungsi kekuasaan ini juga menurut penulis sangat tidak beralasan dan terkesan mengadah ngadah. Kesan yang didapatkan alasan alasan penggugat sangat tidak beralasan dan sangat subjektif artinya bahwa yang terlihat dari alsan alasan yang dijelaskan sebagaimana pada penjelasan sebelumnya tulisan ini, mengarah pada takutnya akan legitimasi untuk seorang pejabat sementara kepala Daerah, pembiayaan yang katanya besar untuk penyelengaraan pemilu serempak, Meminta untuk MK mempertahankan saja para Kepala Daerah yang terpilih di tahun 2020 untuk berakhir sesuai 5 tahun, dan alasan lainnya. Harapan penulis MK pasti akan melihat dari sisi teori nilai, manfaat yang lebih besar yang mana apakah terpisah pemilunya atau di buat serempak ?.., dan tentunya penulis yakin seyakin-yakinnya pemilu serempak tersebut insyallah akan tetap dalam prosesnya untuk menuju tahun 2024. Terlepas dari semua itu tentunya dalam mewujudkan suatu tatanan demokrasi untuk kemajuan suatu bangsa tentunya ada suatu konsekuensi konsekuensi yang timbul dan tentunya kemanfaatan pemilu serempak diyakini dapat membawa arus perubahan bangsa kita dalam membawa bangsa Indonesia lebih berwibawa dimata Dunia dari sisi tatanan demokratisasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lebih dekat Mengenal Sosok Rektor UNMUS DR.Beatus Tambaip.

Langkah Menuju Pembentukan Propinsi Papua Selatan